Dr. Daud Rasyid
Kata `takalluf' berasal dari akar kata `ka-la-fa' yang berarti beban.
Dari akar kata ini, berkembang menjadi `kallafa' dan taklif (tugas),
selain berkembang menjadi takallafa dan takalluf. Yang terakhir ini
dapat diartikan sebagai memaksakan diri untuk memikul kewajiban di
luar batas kemampuan. Di dalam Islam, takalluf tergolong sifat yang
tercela alias tak terpuji.
Takalluf berbeda dengan taklif yang berarti tugas. Taklif adalah
amanah yang dipikulkan oleh pihak yang lebih tinggi untuk dijalankan
sesuai dengan batas kemampuan. Biasanya yang menugaskan itu adalah
Syari' (Allah SWT dan rasul-Nya), seperti shalat, shaum dan jihad.
Tidak kita dapatkan Syari' membebankan kewajiban kepada manusia di
luar batas kemampuannya. Prinsip ini diterangkan Allah di dalam Al
Qur'an (QS. al-Baqarah: 286), dimana Allah tidak membebankan kepada
setiap diri kecuali sebatas kemampuannya.
Praktik takalluf tidak hanya tercela dalam soal-soal dunia, tapi juga
tercela dalam konteks beragama. Sebab sikap ini tergolong memaksakan
diri.Dalam konteks dunia pun demikian keadaannya. Kalau seorang hanya
mampu melakukan tiga pekerjaan, maka tidak boleh memaksakan empat atau
lima pekerjaan.
Jika persoalan ini kita tarik ke arena politik, maka masalahnya akan
lebih kompleks. Misalnya, seseorang atau partai berambisi untuk
merebut kekuasaan dalam pilkada, sementara ia tidak memiliki modal
yang cukup secara finansial untuk berlaga dalam perlombaan itu.
Kemudian orang itu menggaet calon lain yang bisa menutup
kekurangannya.
Di sinilah muncul berbagai persoalan baru. Apakah orang yang digaet
ini mempunyai visi dan misi yang sama dengan orang itu atau hanya
seorang oportunis.
Dari politik melayani masyarakat, menjadi politik memanfaatkan
masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat pun dilakukan dengan motivasi
untuk mendapatkan dukungan suara. Di sini sudah mulai menyentuh
wilayah akidah. Sulit memisahkan antara niat Lillahi Ta'ala dengan
niat mencari simpati pemilih. Padahal dalam melakukan suatu amal,
Allah tidak menerima niat yang mencampurkan keduanya.
Biasanya setelah terpilih, kedua figur itu tak bertahan lama untuk
sejalan. Masing-masing memilih jalannya sendiri-sendiri. Yang terjadi
kemudian adalah pecah kongsi. Kalaupun sejalan, maka di sana akan
terjadi banyak pergeseran cara berpikir dan menilai. Yang tadinya
sangat menjaga batas-batas halal-haram, sekarang sudah tidak
mempersoalkan itu lagi. Yang tadinya teriakan "itu haram" begitu
keras, maka teriakan itu sekarang sudah sayup-sayup hampir tak
kedengaran.
Para anggota dikerahkan menghimpun dana sebanyak-banyaknya, tak peduli
dari manapun sumber dana itu didapat: dari koruptorkah, pengusaha
judikah, bandar narkobakah. Ambil saja uangnya, lalu konon katanya
untuk mendanai dakwah. La hawla wala quwwata illa billah. Kalau
pelakunya orang lain, perbuatan itu haram dan kotor. Tapi kalau
pelakunya kita, ia menjadi halal. Fiqh apakah ini? Inilah namanya fiqh
berdasarkan syahwat. Na'uzubillah.
Belum lagi kehidupan beberapa aktivis yang mendadak berubah menjadi
borjuis. Memiliki beberapa mobil mewah, perhiasan mewah, sementara
pekerjaan resmi sebagai wakil rakyat bisa dihitung berapa pemasukannya
yang halal dan logis. Lalu dari manakah sumbernya?
Perjuangan seperti ini tidak bakal direstui oleh Allah SWT dan mereka
ini tidak lagi pantas membawa-bawa nama dakwah.
Padahal Nabi saw jelas-jelas melarang sumber dana yang haram bagi
setiap aktivitas seorang Muslim, seperti hasil jual-beli anjing, hasil
perdukunan, dan upah pelacuran.
Pernahkah Rasul menggunakan dana dari kafir Quraisy dan musyrikin
lainnya untuk perjuangan Islam? Tak satu pun sumber yang menyebutkan
bahwa Nabi pernah menerima bantuan dari kaum kafir. Bahkan ketika
seorang musyrik menawarkan diri untuk ikut dalam sebuah jihad, Nabi
saw mengujinya, apakah Anda beriman kepada Allah? Nabi spontan
menolaknya dengan mengatakan, "Aku tak akan pernah meminta bantuan
kepada musyrik." Kenapa sensitivitas terhadap halal dan haram ini
terus melemah?
Ini semua gara-gara melakukan tindakan takalluf dalam berpolitik.Apa
beratnya mengakui jika memang tidak punya dana untuk ikut pilkada?
Bersikaplah sebagai pemain pasif, pengontrol dan pemberi nasehat.
Tidak akan ada pihak yang menyalahkan sikap ini. Tetapi, jika memaksa
maju dengan segala keterbatasan, di ujung ia akan dinilai. Inilah
contoh orang-orang yang memaksakan dirinya.
Sabili No. 70 TH. XV, 6 Syawal 1428 H, hlm. 88-89. (hitdemocrazy)
Jumat, November 23, 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar